Kisah ini saya ambil dari kisah nyata
yang namanya telah saya samarkan. Kisah ini menceritakan tentang kasih sayang
orangtua yang tidak adil kepada anaknya.
Sebut saja keluarga Bapak Sani. Pak Sani bekerja sebagai satpam di salah
satu hotel yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Rumah Pak Sani berada di
daerah perkampungan. Namun, letaknya sangat strategis. Istri Pak Sani bernama
Ibu Nurhayati ( nama disamarkan ). Tadinya, Ibu Nurhayati bekerja sebagai
penjahit di pabrik yang lokasi kerjanya lumayan jauh dari kediamannya, Ibu
Nurhayati berhenti bekerja karena hamil. Ketika usia kandungannya mencapai 6
bulan, Pak Sani menyuruhnya untuk berhenti bekerja. Pak Sani tinggal bersama
seorang istri dan tiga orang anaknya. Anak pertamanya bernama Amar ( nama
disamarkan ), yang saat ini sedang menduduki bangku sekolah kelas dua SMP. SMP
dimana Amar mengenyama pendidikan, lokasinya tidak jauh dari kediaman Pak Sani.
Umur Amar berkisar antara 13-14 tahun. Anak keduanya bernama Amir ( nama
disamarkan ), saat ini sedang menduduki bangku sekolah kelas tiga Madrasah
Ibtidaiyah. MI dimana Amir mengenyam pendidikan, lokasinya sedikit ke barat
dari kediaman Pak Sani. Umur Amir berkisar antara 8-9 tahun. Dan anaknya yang
ketiga bernama Arsil, yang masih berumur dua tahun.
Ketiga putra Pak Sani memiliki karakteristik
dan kepribadian yang berbeda. Tentu, karekteristik tersebut hanya dapat
dibandingkan pada Amar dan Amir, karena Arsil masih balita sehingga belum dapat
diketahui bagaimana kepribadiannya. Amar memiliki karakteristik yang sangat
bertolak belakang dengan Amir. Amar terkenal pendiam, pintar, dan kreatif. Sedangkan
Amir terkenal cerewet, pemalas, dan menghabiskan sepanjang harinya untuk
bermain. Dari sejak kelas satu hingga kelas enam MI, Amar selalu masuk kedalam nominasi
siswa yang berprestasi dan tidak jarang pula menduduki peringkat satu. Berjajar
piala menghiasi meja belajarnya, yang terus dan terus menjadi motivasi baginya
untuk tetap maju menjadi siswa yang berprestasi.
Suatu
hari, ketika saya sedang belajar, Bu Nurhayati memanggil saya guna meminta
bantuan. Saya Tanya, “Ada apa bu?” . Lalu, Bu Nurhayati menjawab, “Amar
menangis karena ia tidak bisa mengerjakan PR matematika yang sudah diberikan
oleh gurunya, bisakah kamu membantu?”. Cuplikan percakapan diatas adalah
sebagai gambaran bahwa Amar adalah anak yang rajin. Anak kecil tentu tidak akan
malu untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Begitu pula dengan Amar. Karena
tidak bisa mengerjakan salah satu tugas rumah yang diberikan oleh gurunya, dia
menangis. Dengan jenjang pendidikan yang tidak terlalu tinggi, Pak Sani dan Bu
Nurhayati memutuskan untuk mendaftarkan Amar ke bimbingan belajar agar dapat
mengkonsultasikan tugas-tugas sekolahnya.
Berbeda dengan Amar, Amir bersikap
acuh terhadap tugas-tugas sekolahnya. Tak ada seorang pun yang ditakutinya. Kenakalannya
melebihi batas, sehingga tak jarang saya mendengar Amir selalu dimarahi oleh
kedua orang tuanya. Amir iri kepada Amar karena ia tidak didaftarkan juga untuk
mengikuti bimbingan belajar. Akhirnya, Amir mogok belajar. Lalu, kedua
orangtuanya memutuskan untuk mendaftarkan Amir pula, dengan syarat Amir tidak
boleh nakal dan harus serius dalam belajar. Pada hasil akhirnya, Amar
mendapatkan nilai yang rata-rata semuanya bagus, namun Amir tidak demikian.
Ibunya memarahi Amir. Amir yang
berwatak keras lantang saja melawan ibunya. Dan tak heran, ketika orang tua dan
anak ini bertengkar, Bu Nurhayati selalu membanding-bandingkan Amar dengan
Amir. Dan ini, kejadian yang saya lihat sendiri ketika Amir marah, Pak Sani
makin mengolok-oloknya. Hal itu semakin membuat Amir berlaku tidak sopan kepada
Ayahnya. Sudah terjadi hal seperti itu pula, Pak Sani bukannya malah
menenangkan Amir, justru malah mengatainya sebagai anak yang bodoh, tidak tau
diuntung, yang hanya menyusahkan kedua orang tua saja. Perkataan yang tidak
sepantasnya dilontarkan untuk anak yang masih kecil, yang masih membutuhkan
arahan, nasihat, dan bimbingan.
Amir selalu ingin menjadi seperti
Amar, yang tidak pernah disalahkan kedua orangtuanya. Untuk anak seusia Amir,
harusnya orangtua menyadari bahwa Amir akan bisa berubah jika mereka para
orangtua mengubah cara mendidiknya. Amir yang berwatak keras harus di didik dengan
cara yang lembut dan dengan kasih
sayang. Pantas saja untuk anak seusia Amir berbuat nakal, tapi sebagai orang
tua tetap harus bersikap bijak dengan selalu dan selalu mengarahkan ke jalan
yang benar. Dengan selalu di arahkan, anak akan menjadi terbiasa melakukan
sesuatu yang baik pula. Yang mana, kesabaran sangat dibutuhkan dalam mendidik
dan membesarkan anak agar menjadi anak yang berhasil dan taat kepada kedua
orang tuanya.
Inilah hak asasi seorang anak yang tak
pernah diberikan oleh orang tua Amir. Saran saya, dalam setiap keluarga,
anaklah yang menjadi ujian bagi kedua orang tuanya. Anak adalah harta yang
paling berharga. Meskipun masing-masing orang tua memiliki seorang anak yang
menjadi kebanggaan, namun akan lebih bijak jika tak diperlihatkan ke anak yang
lain. Ini menjadi penting. Agar seorang anak yang tidak menjadi kebanggaan
tetap merasa dirinya penting didalam keluarganya. Dan saya sangat yakin, tidak
ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Jikalau itu ada, mungkin hati
nuraninya masilah belum terbuka dan belum menyadari bahwa anak adalah sosok
yang tak ternilai harganya. Tidak semua orang yang telah berkeluarga bisa
memiliki anak, oleh karena itu orang tua harus bisa mendidik anaknya sebaik
mungkin, agar menjadi anak yang sukses dunia dan akhirat.